Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 hadir sebagai revisi signifikan terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Perubahan ini merupakan respons atas meningkatnya kekhawatiran publik terhadap dampak UU ITE sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan hak digital. Revisi ini secara fundamental mereformasi pasal-pasal krusial yang kontroversial, seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan ancaman pidana yang dirasakan tumpang tindih serta berpotensi kriminalisasi.
Reformasi Pasal-Pasal Kontroversial
Fokus utama revisi terletak pada penyesuaian pasal-pasal pidana yang kerap menjadi sorotan publik. Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, misalnya, kini direformulasi menjadi Pasal 27A. Perubahan ini tidak sekadar restrukturisasi kalimat, tetapi juga penambahan frasa kunci yang membatasi cakupan delik. Pasal ini kini hanya berlaku untuk perbuatan yang secara nyata “menyerang kehormatan atau nama baik”, bukan sekadar kritik yang sah.
Penekanan juga diberikan pada pembuktian niat jahat (mens rea) untuk mencegah penyalahgunaan. Ancaman pidana untuk pencemaran nama baik turut direvisi, dari maksimal empat tahun menjadi dua tahun penjara, diiringi penyesuaian denda.
Sebelumnya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE kerap memicu polemik akibat penafsiran luas dan subjektif, berujung pada kriminalisasi individu karena menyampaikan kritik atau opini. Untuk mengatasi hal ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 mengubah status delik pencemaran nama baik dari delik umum menjadi delik aduan. Dengan demikian, penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan langsung dari korban, bukan atas inisiatif aparat penegak hukum. Langkah ini diharapkan mengurangi kasus yang diproses dan membuka ruang lebih luas bagi mediasi atau penyelesaian non-pidana.
Selain itu, Pasal 28 ayat (2), yang sebelumnya mengatur penyebaran berita bohong pemicu kebencian atau permusuhan SARA, juga direformulasi. Kini, pasal tersebut berfokus pada “pemberitahuan bohong yang dapat mengakibatkan keonaran di masyarakat”. Perubahan ini bertujuan membedakan informasi tidak akurat yang mungkin tidak disengaja dengan informasi yang sengaja disebarkan untuk memicu keresahan sosial. Ancaman pidana untuk pasal ini juga disesuaikan dengan pengurangan durasi penjara. Pembatasan ini dianggap krusial untuk mencegah penyalahgunaan pasal, khususnya terhadap kebebasan berpendapat dengan dalih hoaks, terutama jika informasi yang disebarkan tidak menimbulkan dampak sosial signifikan.
Pasal 29 yang mengatur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti juga mengalami revisi signifikan. Dalam undang-undang baru ini, batasan jenis ancaman yang dapat dipidana diperketat. Fokusnya kini pada ancaman yang serius dan konkret, bukan sekadar ekspresi emosi sesaat atau retorika tanpa niat jahat. Perubahan ini selaras dengan prinsip proporsionalitas hukum pidana, yang mengedepankan sanksi hanya untuk perbuatan membahayakan. Ancaman pidana pun disesuaikan agar lebih proporsional.
Implikasi dan Tantangan Implementasi
Secara keseluruhan, revisi UU ITE ini merefleksikan upaya pemerintah menyeimbangkan perlindungan hak individu, termasuk kebebasan berekspresi, dengan kebutuhan menjaga ketertiban umum dan mencegah penyalahgunaan informasi di ranah digital. Dampak langsung dari perubahan ini diharapkan adalah penurunan kriminalisasi terhadap warganet, jurnalis, dan aktivis yang kerap menjadi korban penafsiran longgar UU ITE.
Dengan penetapan delik aduan pada pencemaran nama baik serta batasan lebih ketat pada berita bohong dan ancaman, potensi penyalahgunaan pasal-pasal pidana tersebut akan menyempit. Ini akan memperkuat jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang digital, sejalan dengan semangat demokrasi.
Meskipun ada perbaikan, tantangan interpretasi masih mungkin muncul pada frasa seperti “keonaran di masyarakat” atau “menyerang kehormatan”. Konsistensi dan integritas aparat penegak hukum dalam penerapan undang-undang ini akan menjadi kunci utama. Pelatihan khusus bagi hakim, jaksa, dan polisi mengenai semangat reformasi UU ini dianggap esensial untuk mencegah terulangnya praktik masa lalu.
Dialog dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan digital tetap sangat penting. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 memang sebuah langkah maju, namun perjalanan menuju ruang siber yang aman, bebas, dan bertanggung jawab masih memerlukan komitmen berkelanjutan. Semua pihak—pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan industri teknologi—perlu terus beradaptasi dengan dinamika digital yang cepat berubah. Hal ini penting untuk memastikan kerangka hukum senantiasa relevan dan melindungi hak-hak dasar warga negara.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 merevisi UU ITE sebagai respons terhadap kekhawatiran publik mengenai kebebasan berekspresi dan hak digital.
- Pasal 27 ayat (3) direformulasi menjadi Pasal 27A, membatasi cakupan delik pencemaran nama baik, dan menekankan pembuktian niat jahat (mens rea).
- Status delik pencemaran nama baik diubah menjadi delik aduan, yang berarti penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan korban langsung.
- Pasal 28 ayat (2) mengenai berita bohong difokuskan pada “pemberitahuan bohong yang dapat mengakibatkan keonaran di masyarakat” untuk membedakan dengan informasi tidak akurat yang tidak disengaja.
- Pasal 29 terkait ancaman kekerasan diperketat, hanya mempidanakan ancaman yang serius dan konkret, sejalan dengan prinsip proporsionalitas hukum pidana.
- Revisi ini bertujuan menyeimbangkan perlindungan hak individu dan ketertiban umum, dengan harapan mengurangi kriminalisasi serta memperkuat kebebasan berpendapat di ranah digital.
Recent Comments