Dampak El Nino Terhadap Ketahanan Pangan dan Harga Komoditas di Indonesia

Transisi energi menuju keberlanjutan menjadi fokus global, dan Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi ekonomi signifikan di Asia Tenggara, turut berkomitmen dalam upaya ini. Dengan target ambisius mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) bukan lagi pilihan, melainkan prioritas nasional. Artikel ini akan menguraikan langkah-langkah Indonesia dalam mendorong EBT, tantangan yang dihadapi, serta berbagai peluang untuk mewujudkan masa depan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Komitmen dan Target Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, sebuah langkah strategis yang menuntut pergeseran paradigma energi nasional. Untuk mencapainya, pemerintah berkomitmen meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam pasokan energi. Target awal adalah mencapai 23% EBT pada tahun 2025, angka yang memerlukan dorongan signifikan agar dapat direalisasikan.

Pengembangan kapasitas pembangkit listrik EBT menjadi pilar utama strategi ini. Saat ini, kapasitas terpasang EBT masih didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Padahal, potensi surya, angin, dan bioenergi sangat besar, seperti potensi surya yang mencapai ratusan gigawatt namun pemanfaatannya masih minim.

Berbagai kebijakan pendukung telah diterbitkan, termasuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres ini diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dan mengatasi hambatan regulasi.

Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan

Meski memiliki komitmen kuat, Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius dalam transisi menuju energi hijau. Tantangan-tantangan ini kompleks dan saling terkait:

Biaya Investasi Awal yang Tinggi. Pembangunan fasilitas EBT, seperti pembangkit listrik tenaga surya atau angin, sering memerlukan biaya investasi awal yang lebih besar dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil. Meskipun biaya operasionalnya cenderung lebih rendah, modal awal yang besar sering menjadi penghalang bagi investor.

Intermitensi dan Stabilitas Jaringan. Sumber EBT seperti surya dan angin bersifat intermiten, artinya produksinya tergantung pada kondisi cuaca. Ini menimbulkan tantangan besar dalam menjaga stabilitas dan keandalan jaringan listrik nasional. Diperlukan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai, dan sistem manajemen jaringan yang canggih untuk mengatasinya.

Ketersediaan Lahan dan Konflik Sosial. Pengembangan EBT skala besar, terutama PLTA dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang membutuhkan area luas, sering menghadapi masalah ketersediaan lahan. Potensi konflik dengan masyarakat adat atau pemilik lahan serta proses pembebasan lahan yang rumit dan panjang dapat memperlambat proyek.

Kebijakan dan Regulasi yang Belum Optimal. Meskipun Perpres 112/2022 telah diterbitkan, implementasi di lapangan masih memerlukan sinkronisasi dan penyempurnaan. Tarif pembelian listrik EBT yang belum sepenuhnya kompetitif dibandingkan energi fosil, serta birokrasi yang berbelit-belit, masih menjadi keluhan utama investor.

Ketergantungan pada Energi Fosil. Indonesia memiliki cadangan batu bara dan gas alam yang melimpah, menjadikan energi fosil tulang punggung ekonomi dan sumber energi utama selama puluhan tahun. Mengurangi ketergantungan ini memerlukan perubahan struktural masif dan investasi besar dalam infrastruktur EBT.

Peluang dan Strategi Akselerasi

Di balik berbagai tantangan, terdapat peluang besar bagi Indonesia untuk memimpin di sektor energi terbarukan di kawasan. Beberapa strategi kunci dapat diimplementasikan untuk mempercepat transisi ini:

Pemanfaatan Potensi Lokal yang Melimpah. Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi EBT luar biasa:

  • Surya: Terletak di garis khatulistiwa, Indonesia menerima radiasi surya yang tinggi sepanjang tahun.
  • Panas Bumi: Sebagai bagian dari Ring of Fire, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia.
  • Hidro: Banyak sungai dan potensi mikrohidro yang belum dimanfaatkan.
  • Bioenergi: Limbah pertanian dan perkebunan dapat diolah menjadi sumber energi.

Pemanfaatan potensi ini secara optimal akan menjadi kunci akselerasi.

Inovasi Teknologi dan Litbang. Investasi dalam penelitian dan pengembangan (Litbang) teknologi EBT, termasuk baterai penyimpanan energi dan smart grid, sangat krusial. Kolaborasi dengan lembaga riset internasional dan universitas dapat mempercepat inovasi.

Insentif Fiskal dan Non-Fiskal. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih menarik bagi investor EBT, seperti pembebasan pajak, kemudahan perizinan, dan jaminan pembelian listrik dengan harga kompetitif. Mekanisme seperti Renewable Energy Certificates (REC) juga dapat menjadi daya tarik.

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ketersediaan tenaga ahli dan terampil di bidang EBT masih terbatas. Program pendidikan dan pelatihan vokasi perlu ditingkatkan untuk menyiapkan SDM yang kompeten, mulai dari teknisi hingga insinyur.

Kerja Sama Internasional. Kemitraan dengan negara-negara maju yang berpengalaman dalam transisi energi dapat memfasilitasi transfer teknologi dan akses ke pendanaan hijau. Dana iklim global juga dapat dimanfaatkan.

“Transisi energi adalah sebuah keniscayaan, bukan lagi pilihan. Indonesia harus bergerak cepat dan adaptif untuk memastikan ketahanan energi jangka panjang dan komitmen iklim global.” — Kementerian ESDM.

Sebagai kesimpulan, perjalanan Indonesia menuju target Net Zero Emission 2060 melalui pengembangan energi terbarukan adalah upaya yang ambisius. Beberapa poin penting meliputi:

  • Indonesia berkomitmen mencapai Net Zero Emission 2060 dengan target bauran EBT 23% pada 2025, didukung kebijakan seperti Perpres 112/2022.
  • Tantangan utama meliputi biaya investasi awal yang tinggi, intermitensi sumber EBT, masalah ketersediaan lahan, regulasi yang belum optimal, dan ketergantungan pada energi fosil.
  • Indonesia memiliki potensi EBT melimpah dari surya, panas bumi, hidro, dan bioenergi yang belum termanfaatkan secara optimal.
  • Strategi akselerasi meliputi inovasi teknologi, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal, pengembangan SDM, dan kerja sama internasional.
  • Komitmen politik kuat, strategi terarah, dan kolaborasi multipihak sangat esensial untuk mewujudkan masa depan energi yang hijau dan berkelanjutan di Indonesia.

About the Author

You may also like these